1127 : Puasa Senin sekaligus memperingati hari kelahiran Nabi

Puasa Senin sekaligus memperingati hari kelahiran Nabi

Sekali lagi kami sampaikan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa puasa Senin adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya

Dari Abi Qatadah Al Anshari Radliyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Senin. Maka Beliau bersabda,” di hari Senin itu saya dilahirkan dan saya diangkat menjadi Rasulullah, dan diturunkan pada saya pada hari itu Al-Qur’an.

Pada hadits yang lain dapat kita ketahui alasan lain puasa Senin dan Kamis

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa puasa setiap senin dan kamis. Ketika beliau ditanya alasannya, beliau bersabda, Sesungguhnya amal para hamba dilaporkan (kepada Allah) setiap senin dan kamis.” (HR. Abu Daud 2436)

Jadi kesimpulannya alasan puasa Senin adalah

Hari dilahirkan Rasulullah
Hari diangkat menjadi Rasulullah
Hari diturunkan Al Qur’an
Hari dilaporkannya amal para hamba Allah

Alasan puasa Kamis adalah

Hari dilaporkannya amal para hamba Allah

Kaum muslim boleh memperingati Maulid Nabi dengan kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar laranganNya

Begitupula sebagaimana yang dikatakan ulama panutannya mereka, Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin bahwa tujuan diadakan “pekan memorial Muhammad bin Abdul Wahhab” adalah dalam rangka menjelaskan dan mengingat tentang nikmat yang Allah berikan kepada kaum muslimin melalui tangan beliau. (Majmu’ Fatawa Al Aqidah Li Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin)

Maksudnya “pekan memorial Muhammad bin Abdul Wahhab” diadakan dalam rangka mengenang jasa-jasa Muhammad bin Abdul Wahhab

Pekan memorial Muhammad bin Abdul Wahhab termasuk peringatan haul.

Kata “haul” dari bahasa Arab, yang berarti setahun. Contohnya dalam bab zakat kata haul juga di pakai sebagai salah satu syarat zakat yang juga memiliki arti setahun. Sedangkan peringatan haul maksudnya ialah suatu peringatan yang diadakan setahun sekali bertepatan dengan wafatnya seseorang yang ditokohkan oleh masyarakat, baik tokoh perjuangan atau tokoh agama atau ulama kenamaan.

Peringatan haul ini diadakan karena adanya tujuan yang penting yaitu mengenang jasa dan hasil perjuangan para tokoh terhadap tanah air, bangsa serta umat dan kemajuan agama Allah, seperti peringatan haul wali songo, para haba’ib dan ulama besar lainnya, untuk dijadikan suri tauladan oleh generasi penerus.

Rangkaian Kegiatan yang dilaksanakan dalam Acara Haul

a. Ziarah ke makam sang tokoh dan membaca dzikir, tahlil, kalimah thayyibah serta membaca Al-Qur’an secara berjama’ah dan do’a bersama di makam;
b. Diadakan majlis ta’lim, mau’idzoh hasanah dan pernbacaan biografi sang tokoh/manaqib seorang wali/ulama atau haba’ib;
c. Dihidangkan sekedar makanan dan minuman dengan niat selamatan/shodaqoh ‘anil mayit.

Hadits riwayat Imam Waqidi sebagaimana yang tersebut dalam kitab Nahjul Balaghoh hal. 399

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزور قتلى أحد في كل حول، وإذا لقاهم بالشعب رفع صوته يقول : السلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار. وكان أبو بكر يفعل مثل ذلك وكذلك عمر بن الخطاب ثم عثمان بن عفان رضي الله عنهم. [رواه الواقدي        ]

Artinya:

“Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berziarah ke makam syuhada’ Uhud pada setiap tahun. Dan ketika beliau sampai di lereng gunung Uhud beliau mengucapkan dengan suara keras “semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada kamu berkat kesabaranmu, maka alngkah baiknya tempat kesudahan”. Kemudian Abu Bakar, Umar bin Khatthab dan Utsman bin ‘Affan juga melakukan seperti tindakan Nabi tersebut”.

ذكر الأنبياء من العبادة وذكر الصالحين كفارة، وذكر الموت صدقة، وذكر القبر يقربكم إلى الجنة. [رواه الديلمي] اهـ الجامع الصغير : 158

Artinya :

“Menyebut-nyebut para Nabi itu termasuk ibadah, menyebut-nyebut para shalihin itu bisa menghapus dosa, mengingat kematian itu pahalanya seperti bersedekah dan mengingat alam kubur itu bisa mendekatkan kamu dari surga”. (HR. Dailami)

Namun kami tidak setuju dengan pendapat Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin bahwa kegiatan “pekan memorial Muhammad bin Abdul Wahhab” atau kegiataan “mengenang jasa-jasa Muhammad bin Abdul Wahhab ” tidak dianggap sebagai suatu bentuk taqarrub kepada Allah Azza Wa Jalla karena kegiatan tersebut tentunya diselenggarakan karena mereka mencintai Muhammad bin Abdul Wahhab.

Kaum muslim mencintai manusia karena mencintai Allah. Semua perbuatan mencintai Allah adalah dalam rangka taqarrub kepada Allah.

Begitupula Maulid Nabi diselenggarakan suatu perwujudan kaum muslim mencintai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena mencintai Allah.

Jadi jika acara pekan memorial Muhammad bin Abdul Wahhab maupun Maulid Nab atau haul diisi dengan kegiatan yang tidak menyalahi laranganNya atau kegiatan yang tidak bertentangan dengan syara’ atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka pelakunya mendapatkan pahala dari bentuk kegiatan yang tidak menyalahi laranganNya

Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.

Begitupula memperingati hari kelahiran diri sendiri dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di akhirat kelak adalah bukan perkara dosa atau terlarang.

Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)

Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.

Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi): “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul shallallahu alaihi wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallahu alaihi wasallam dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam“.

Jadi kaum muslim mendapatkan pahala dari bentuk kegiataan yang mengisi acara peringatan tersebut.

Bentuk kebiasaan atau kegiatan untuk mengisi peringatan Maulid Nabi walaupun tidak pernah dilakukan atau dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diperbolehkan selama tidak melanggar laranganNya karena tidak semua yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah perkara terlarang

Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/10/tidak-semua-terlarang/ bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri yang mencontohkan bahwa tidak semua yang tidak dilakukan oleh Beliau adalah perkara terlarang

Khalid bin Walid pun berkata, Wahai Rasulullah, apakah daging dhab (mirip biawak) itu haram? Beliau menjawab: Tidak, namun di negeri kaumku tidak pernah aku jumpai daging tersebut, maka aku enggan (memakannya). Khalid berkata, Lantas aku mendekatkan daging tersebut dan memakannya, sementara Rasulullah melihatku dan tidak melarangnya. (HR Muslim 3603)

Jadi perkara dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi muamalah, kebiasaan atau adat walaupun tidak dilakukan atau dicontohkan atau tidak sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah selama tidak melanggar laranganNya atau bukan perkara terlarang maka hukum asalnya adalah mubah (boleh)

Pada hakikatnya segala sesuatu pada dasarnya mubah (boleh).

Maksud dari prinsip ini adalah bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah.

Tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas oleh nash yang shahih sebagai sesuatu yang haram. Dengan kata lain jika tidak terdapat nash yang shahih atau tidak tegas penunjukan keharamannya, maka sesuatu itu tetaplah pada hukum asalnya yaitu mubah (boleh)

Kaidah ini disandarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’la

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….” (QS. Al-Baqarah [2]:29)

“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah [45]:13)

“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS. Luqman [31]:20)

Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya.

Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan wilayah halal sangatlah luas.

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkanpadaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islamitu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)

Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”

Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.

Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah aram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmuitu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa risalah atau agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa) dan selebihnya adalah apa yang telah dibolehkanNya. Allah ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu(dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan olehan-Nawawi)

Kesimpulannya, yang dimaksud dengan “telah sempurna agama Islam” adalah telah sempurna atau telah tuntas segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang dibolehkanNya atau selebihnya hukum asalnya adalah mubah (boleh).  Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam[19]:64)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)

Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya

Firman Allah ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. al Hadid [57]: 27)

Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya

Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti

1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa
2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur
3. Melarang dirinya untuk menikah

Namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegur dan mengkoreksi mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”

Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )

Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“

Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Jadi jelaslah pelaku bid’ah dalam urusan agama adalah orang-orang yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya akan masuk neraka karena mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.

Kesimpulannya perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi muamalah, kebiasaan atau adat diperbolehkan selama tidak melanggar laranganNya

Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan

Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa’alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)

Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.

Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf

Firman Allah ta’ala yang artinya

Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)

Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.

Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).

Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).

Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat pun, jika menyalahi laranganNya atau jika bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah yang sayyiah alias bid’ah dholalah.

Berikut pendapat Imam Syafi’i ra

قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج     )

Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)

Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:

وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ     .

“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi’ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).

Jadi bid’ah hasanah adalah perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat yang tidak menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan syara’ atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah

Lalu timbul pertanyaan mengapa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diperingati hari kelahirannya sedangkan yang lainnya adalah peringatan ketika wafatnya.

Jawabannya adalah karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah maksum dan manusia yang paling mulia sedangkan kemuliaan maupun jasa manusia yang lain diketahui setelah mereka wafat. Sesuailah dengan pepatah yang berbunyi

“Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”

Artinya seorang manusia terutama diingat jasa-jasanya atau kesalahan-kesalahannya. Perbuatannya ini, baik maupun buruk akan tetap dikenal meskipun seseorang sudah tiada lagi.

Ada satu nasehat dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang berbunyi “Muutu qabla an tamuutu” yang artinya “matilah sebelum mati”

Nasehat Rasulullah tersebut sarat dengan makna. Mati pada hakikatnya adalah terbebasnya ruh (ruhani) dari jasad (jasmani). Jadi upayakanlah dalam kehidupan ini ruh (ruhani) kita tidak terkukung oleh jasmani atau tidak terkukung oleh hawa nafsu. Upayakanlah ruh (ruhani) kita mengendalikan hawa nafsu bukan hawa nafsu yang mengendalikan ruh (ruhani) kita.

Berikut ulasan dari seorang teman akan nasehat dari Rasulullah di atas

***** awal kutipan *****
 “Sebelum anda meninggal dunia, cobalah mematikan diri anda sejenak.

Tutuplah kedua mata anda dan bayangkan jenazah anda sedang berada di atas keranda mayat diiringi oleh para pengantar jenazah. Keadaan bagaimana yang anda inginkan setelah anda mati, maka jadilah seperti yang anda inginkan di saat anda hidup sekarang ini.

Perbaikilah kesalahan anda, perbaikilah tingkah laku anda, bertaubatlah di atas segala perbuatan maksiat anda, bukalah lembaran baru kehidupan anda dengan perjalanan hidup dan budi pekerti yang baik.

Cucilah hati anda dari kedengkian dan bersihkanlah dari pengkhianatan. Kelak anda akan mengingat apa yang telah anda lakukan karena makhluk-makhluk ibarat pena Allah ta’ala dan seluruh manusia adalah saksi Allah ta’ala di bumiNya.

Jika mereka bersaksi dengan memuji anda, maka itu adalah khabar baik buat anda dan kesaksian ini diterima di sisi Allah yang Maha Esa. Namun jika mereka bersaksi dengan menyebutkan keburukan anda, maka anda sangat merugi di atas apa yang sedang menanti anda“
 *****akhir kutipan ****

Wassalam



Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830



 

Related Posts:

Loading...
Comments
0 Comments